Oia, ini kisah nyata lho, tapi sebenarnya cerita iniga sepenuhnya nyata, berhubung ak sendiri pikun-pikun ttg kejadian yang alami... jadi aku sengaja buat konflik cerita ini lebih tragis daripada yang aku alami...
Ok, berhubung ceplas-ceplos pra cerita udah habis... silakan membaca...
Smoga suka ya... ^3^
Malaikat yang Seungguhnya
(Minggu siang pukul 2)Aku benci jadi anak sulung.
Kenapa aku harus jadi anak sulung?
Kenapa aku harus dilahirkan sebagai anak sulung?
Kenapa?
Itulah kalimat-kalimat yang terus berulang di kepalaku.
Kenapa?
“Aku benci benci benciiiiiiiiiiiiiiiiii….” Teriakku dalam hati. Air mataku terus mengalir di pipiku sembari menahan perih di dada, aku menangis sesengukan.
***
(Minggu siang, pukul 12)
Jam dinding di rumahku menunjukkan pukul 12 siang. Hari Minggu buatku memang hari melelahkan, banyak hal yang harus aku lakukan bersama kembarku, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengepel, melipat pakaian, dan memasak untuk makan siang. Menurutku semua pekerjaan itu sulit untuk dikerjakan.
Ceklek, seseorang telah membuka pintu samping rumah. Aku dan kembarku yang sedang memotong sayuran menoleh ke arah pintu. Dia adik lelakiku, masuk tanpa mengucap salam. Sesusah itukah? Dia sudah membuatku merasa kesal.
“Wa alaikum salaaaaam,” kataku setengah mengejek.
“Hebat, kamu ga pernah ngingat rumah?” tanya Riska.
“Salam pun tidak, apalagi rumah” kataku lagi.
Lalu kemudian terdengar langkah kaki kecil melewati pintu samping, adik perempuanku.
“Wah wah wah, ini lagi apa kalian ga tahu sekarang jam berapa?” tanya Riska dengan sinis.
“Oooo, sekarang kan masih jam 12 siang, yaa baru juga 6 jam hilang dari rumah. Sekalian ga usah pulang kalian,” kataku sembari berhenti memotong sayuran-sayuran lalu berdiri.
Kedua adikku masih berdiri di tempat, tetapi tanpa muka menyesal sedikitpun? Apa-apaan mereka? Malah mereka memasang muka meremehkanku! Betul-betul adik kurang ajar.
“Ga urus!” kata adik lelakiku melenggang tanpa dosa masuk ke dapur.
Aku menahan sulutan emosi, betul-betul kurang ajar mereka. Sementara di sebelahku Riska sudah megap-megap menahan emosi.
“Kenapa sih kamu selalu ikut campur?” adik perempuanku Rahmi memasang muka super sinis kepada kami. Helooo? Apa mereka ini gila, sudah nyata-nyata bersalah dan seolah-olah tanpa dosa mereka berbuat sekurangajar ini? Aku sudah tak tahan!
“DASAR ADIK GILA!!!” kataku sembari mengeluarkan emosi di dada.
“Kurang ajar banget! Kalian pikir kalian yang benar. GILA!!!”
Dengan pisau masih di tangan, aku mengejar adikku yang berada di dapur.
“Apaan kamu? Tidak tahu etika! Tak bermoral! Anak MTs macam apa kau? Anak MTs salah cetak? Haah??” kataku sambil menujuk kasar kepadanya dan tanpa kusadari pisau itu masih berada di tanganku.
Adik lelakiku ketakutan! Ia berpikir aku akan membunuhnya. Tak mungkin kan? Untuk apa juga aku harus masuk penjara hanya karena alasan bodoh melenyapkan dia? Dan, beberapa detik kemudian Ian menangis? Haah? Anak lelaki apaan?
“Kamu sendiri judes, kayak tante-tante!” kata Ian setengah membentak diiringi sesengukan daam tangisnya.
“Dasar cengeng, baru segitu juga nangis,” kataku setengah mengejek.
“Apaan kamu? DASAR PEREMPUAN NAKAL!!!” kata Ian berlari menuju kamarnya dan…
BRAAAKKK!!! Ia membanting pintu kamar kemudian menguncinya.
Penghinaan macam apa ini? Ini sudah sangaaaaaaaaaaaaaaaat keterlaluan. Dan yang menghinaku adalah adikku sendiri? Aku sedikit shock dan terpaku, dan kurasakan pelan-pelan mataku terasa panas. Perlahan ada sudut bening di mataku, kemudian mengalir membasahi pipiku. Aku menahan air mataku untuk keluar berlebihan. Kulap air mataku, aku masuk ke WC untuk membasuh wajahku. Aku tak boleh menangis. Aku cewek kuat, tak seperti Ian dan Ammi yang kudengar sedang menangis di kamar.
Mereka terus berteriak, “Aku akan melapor ke mama!!!”
Riska pun membalas, “Jangan harap ada jatah makan siang buat kalian, bocah setan!!!”
***
(Minggu siang pukul 1 lewat)
Aku dan Riska telah selesai menyantap makan siang buatan kami sendiri. Hanya nasi, ikan, perkedel, dan sayur tumis. Mama kemudian tiba di rumah…
Dan yang terjadi kemudian adalah…
Rahmi dan Ian melapor ke mama…
Mama marah!
Kami mencoba membela diri…
“Tapi kan ma, sampai kapan mereka mau dibiarin begini, apa mama mau nanti Ian akan jadi anak tukang ngerokok yang nongkrong di deker gitu?” kataku membela diri dengan nada suara yang coba kutahan walaupun nada emosi suaraku sangat kentara.
“Aku ga merokok!” kata Ian lagi masih sambil nangis.
“Bukan sekarang tapi nanti kalo kamu ga ngubah sifatmu bodoh!” kata Riska.
“Hah, kamu berdua jauh lebih banyak bicaranya dari mama, mentang-mentang anak sulung. Merasa sok berkuasa kamu!”
“Tapi ma, dulu temanku yang sekarang merokok, kelakuannya juga begini, emang mau jadi apa dia kalo terus-terusan keluar sampai ga ingat rumah? Mau jadi pemabuk? Mau gimana masa depannya ma?” suaraku terdengar bergetar, menahan tangis.
“Huuuu… dia itu yang bakal hancurin generasi muda!” kata Riska menambahkan.
“Kalian itu, mentang-mentang sudah merasa tinggi ilmunya kamu bicara kasar begini. Baru kamu nganggap mama ini siapa? Babu?”
Kami diam beberapa saat. Aku masih menahan air mataku yang terus menggenang di pelupuk mataku…
Kemudian kudengar Riska mengucapkan kata-kata lirih tertahan “Mama selalu aja ngebela Ian terus, Ammi terus. Sedangkan aku? Kapan ma?” Riska kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Aku tak menyangka Riska akan mengucapkan kata-kata itu, selama ini kami belum pernah berani mengucapkannya. Mungkin karena hal ini terlalu sering terjadi. Yaa, aku juga sudah jenuh sebenarnya. Dan karena kata-kata itu, tanpa sadar mulutku mengeluarkan kalimat…
“Ga papa kalo mama ga bela kami ma, tapi aku ingin setidaknya mama berlaku adil… anggap kami juga ma…” kataku seiring air mata mengalir di pipiku. Aku berjalan perlahan, menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamarku, menutup pintu, air mataku mengucur deras. Tak tertahankan.
***
(Senin siang pukul 02.00)
Entah mengapa siang ini terasa sangat tidak menyenangkan, aku merasa mama tak menganggapku di rumah. Rupanya semua hal kemarin belum membaik. Aku hanya mengambil segelas air putih dan masuk ke kamarku.
Di saat itu, aku merasa sakit perih teriris. Aku seolah bukan siapa-siapa di rumah, hanya seperti serangga yang kehadirannya tak diinginkan. Aku duduk di tempat tidurku, lalu menangis lagi.
Lagi-lagi hatiku bertanya…
Kenapa aku harus dilahirkan sebagai anak sulung?
Aku menangis tersedu-sedu, tetapi berusaha agar tak kedengaran oleh yang lain. Di kepalaku terus membayang peristiwa kemarin.
Ian dan Rahmi yang salah kan? Aku hanya tidak ingin mereka menjadi orang tak bermoral di masa depan. Hanya itu kan? Hmmm… kuakui aku memang egois, aku judes, dan karakterku memang begitu. Bukannya saat kecil aku memang dididik keras oleh papa dan mama? Aku sudah sering merasakan hantaman-hantaman dari tangan mereka kalau sering keluar, aku bahkan sering merasakan pukulan ikat pinggang hanya karena main sejam lebih. Tetapi apa mereka? Sudah keluar selama 6 jam? Tetapi tak ada pukulan ataupun hantaman ikat pinggang untuk mereka? Aku baru memarahi segitu, aku kan tak memukulnya seperti yang dilakukan oleh papa dan mama. Apa aku salah?
Mama selalu saja memanjakan mereka, apalagi Ian. Ian yang bodoh di sekolahnya, Ian yang nakal, Ian yang tak bisa melakukan sesuatu dengan baik, Ian yang pemalas. Dan aku tak pernah. Padahal aku tumbuh menjadi anak yang mandiri, aku bisa membanggakan orang tuaku dengan pretasi yang kumiliku. Dulu aku sempat sakit hati, ketika aku berhasil menjuarai Lomba Cepat Tepat, tak ada hadiah dari mama, bahkan hanya untuk sekedar ucapan selamat. Dulu ketika aku berhasil Juara Umum di Sekolah, mama tak datang mengambilkan raporku, dan ayah sedang sibuk di luar kota. Padahal ketika namaku disebut, aku hanya punya satu keinginan, mama bangga dengan apa yang telah aku capai.
Tetapi mama tak datang, dan orang lain yang mengambilkan raporku. Mama lebih memilih mengambilkan rapor Ian yang peringkat 4 dari belakang, yang membuat mama malu.
Mengenang peristiwa pahit itu, lagi-lagi aku menangis. Dan seperti biasa menangis hingga tertidur. Belakangan ini hal itu sering kulakukan.
Esoknya masalah itu belum membaik. Tak ada komunikasi antara kami dan mama. Mama juga seolah selalu menghindar. Seolah aku bukan siapa-siapa di rumah. Maka ketika malam pun, mama tak mengajakku dan Riska makan malam. Perih!
Aku mencurahkan peristiwa itu kepada kak Icha, orang yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Semua hal masalah ini kuceritakan, termasuk aku tak diberi makan malam oleh mama.
Dan ia kemudian menyampaikan sesuatu yang begitu bijak:
“Memang, ketika kamu membenci suatu hal, di pikiranmu hanya ada hal-hal buruk tentangnya. Tak ada presepsi baik, padahal jika ade berpikir, ternyata jauh lebih banyak hal yang baik tentangnya. Itu hanya presepsi ade. Kakak juga pernah punya masalah ma mama kakak. Jadi kakak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mama itu punya arti penting banget dek buat hidup kamu. Bayangin aja jika kamu ga punya mama? Bisa jadi tiap malam kamu bakal rinduin dia sampe nangis-nangis dek. Beruntunglah kamu hingga kini masih punya mama. Memang terkadang mama itu ngeselin, mama itu di matamu jahat banget, tapi mama itu adalah malaikat kamu yang sesungguhnya. Makanya kakak saranin kamu untuk secepatnya baikan sebelum sesuatu terjadi and the end itu buat ade menyesal seumur hidup…”
Aku menangis lagi. Aku menyesal.
***
Kata-kata Kak Icha terus mengiyang di kepalaku… “Mama itu adalah malaikat kamu yang sesungguhnya…”
Aku anak ga berguna… aku jahat… aku udah nyakitin hati mama… apa yang harus kuberikan untuk mama???
Sebuah lagu mengiang di kepalaku…
Apa yang kuberikan untuk mama?
Untuk mama…
Tersayang…
Aku tak memiliki sesuatu berharga…
Untuk mama…
Tercinta…
Aku menangis terisak, lebih parah dari sebelummnya. Aku menangis hingga tertidur lagi…
***
Tiba-tiba aku terbangun!!! Rasa katukku pun menghilang! Dalam sekejap, aku pun mencari hp-ku. Dan begitu menemukannya, mataku tertuju pada sudut kanan atas hpku, jam. Jam setengah tiga. Tiba-tiba terbersit sebuah ide di kepalaku…
Aku ingin membuat kue sebagai permintaan maaf ke mama. Kemudian aku membangunkan Riska…
***
Setelah beberapa jam, kue bolu kukus buatanku dan Riska akhirnya jadi. Enaak! Meskipun rupanya kurang cantik, karena ini adalah kue pertama buat kami, tetapi inilah hasil kami dari hati…
Seusai shalat subuh, aku memotong-motong kue bolu. Menatanya di atas piring cantik. Dan aku memberi catatan kecil pada kertas berwarna biru. “Love You Mom”. Aku menaruh kue itu di depan pintu kamarnya. Berharap ketika mama membuka pintu, mama mau memaafkan kami, dan tidak menginjak kuenya. :D
Aku berbaring di sofa, dan begitu berbaring, aku sadar aku merasa lelah. Dan tanpa sadar, aku tertidur.
***
“Ika bangun… sudah jam enam. Riska…” aku mendengar suara mama…
Rupanya semua kembali seperti semula. Hari ini akan berlanjut lebih baik… dan harapanku semua akan baik-baik saja. Aku akan menjaga malaikatku...
Seperti pernah baca ya ...
BalasHapus:D
namanya juga karya lama... :D cuma posting supaya blogku ada isinya... sekarang lagi merilis ceritaku...
BalasHapusHhohoho :D
BalasHapusiaiaiaia
~SEMANGAT~
z ndak akn akui ko dr. Rasyiqah hehehe
BalasHapuslumayan ksh menarik lagi ika hehhe
hahaha, s berubah cita-cita mi mbang.. menarik apa ini blog? s ga mengerti edit. but i'm still figthing!
BalasHapus